Nafsu Radiyah. yaitu nafsu yang ridha kepada Allah SWT, yang mempunyai peran yang penting dalam mewujudkan kesejahteraan. Nafsu ini dalam realisasinya sering kali muncul dalam bentuk tindakan-tindakan, misalnya ia selalu mensyukuri nikmat Allah SWT, sebab Allah SWT menjanjikan tambahan nikmat bagi mereka yang bersyukur kepada nikmat-nikmat Allah SWT, dan sebaliknya akan di beri azab mereka yang tidak mensyukuri nikmat itu ( QS.14:7 ). Nafsu ini akan menjadikan seseorang ridha dalam melaksanakan segala perintah Allah SWT, dan secara ikhlas pula menjahui segala larangannya, secara senantiasa kanaah atau merasa cukup/ memadai pemberian Allah SWT.
Nafsu Mardiyah, yaitu nafsu yang mencapai ridha Allah SWT. Keridhaan tersebut terlihat pada anugrah yang diberikan-Nya berupa senantiasa berdzikir, ikhlas, mempunyai karomah, dan memperoleh kemuliaan, sementara kemuliaan yang diberikan Allah SWT itu bersifat universal, artinya jika TUhan memuliakannya, siapa pun tidak akan bisa menghinakannya, demikian pula sebaliknya oramg yang dihinakan oleh Allah SWT, siapa pun tidak bisa memuliakannya.
Dua nafsu tersebut terakhir, yakni nafsu radiyah dan mardiyah, oleh para sufi didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Fajr ayat 27-28 : " Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada TUhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhai-Nya." Hamba yang di ridhai akan di masukkan kedalam surga-Nya.
Nafsu Kamilah, yaitu nafsu yang telah sempurna bentuk dan dasarnya, sudah dianggap cakap untuk mengerjakan irsyad ( petunjuk ) dan menyempurnakan penghambaan kepada Allah SWT. Orangnya dapat di sebut sebagai *mursyid dan mukammil ( orang yang menyempurnakan ) atau * insan kamil, yang dalam pengalaman para sufi telah tercapai tajjali ( terbuka, tak bertabir ), asma' wa as-sifat ( nama dan sifat ), baqa'billah ( berada bersama Allah ), fana fillah ( hancur dalam Allah ), ilmunya ilmu ladunni minallah ( ilmu anugrah Allah ).
Dengan demikian nafsu sebagai unsur rohani manusia pada tingkat tertentu dapat diarahkan kepada perbuatan baik dan pada tingkat tertentu pula manusia bisa dirongrong dan di goda hawa nafsu sehingga terseret ke lembah kehinaan. Jika telah demikian, hawa nafsu telah merajalela dan mengganas, menjerumuskan manusia ke tempat yang hina, tempat yang paling rendah, yang Allah SWT telah janjikan akan mengembalikan manusia ke tempat seperti itu.
Demikianlah sikap Islam terhadap nafsu itu, sebagaimana di fahami para sufi yakni mengembangkan sifat baik dan memberi peringatan kepada nafsu yang buruk bahkan mengusahakan untuk tidak memanjakannya dalam menjalani latihan-latihan yang keras untuk menundukkannya. Orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya ( QS.79:40,41 ). Para pecinta akhlak dan tasawuf menyebut bahwa jihad paling besar adalah jihad melawan nafsu ( hawa nafsu ).
Kembali